Senin, 19 Mei 2008

Dimanakah Kini Karo(Aku) Berada?

Sejarah merupakan kebutuhan eksistensial manusia. Dimana dengan paham akan sebuah sejarah, manusia akan semakin sadar tentang keberadaannya sebagai pelaku sejarahnya. Salah satu komunitas yang ada di Negri ini adalah masyarakat Karo. Lantas yang menjadi masalah adalah kurangnya pemahaman kita tentang sejarah kita sendiri, sejarah masyarakat Karo yang berakibat pada terpenggalnya sebuah pemahaman akan keberadaan dari generasi masyarakat Karo itu sendiri. Pemahaman yang parsial ini akan membuat kita gamang dalam menentukan sikap dan sempit dari sudut pandang. Ketidak pahaman akan nilai sejarah tersebut membuat kita akan semakin kehilangan identitas kita sebagai masyarakat Karo. Yang secara otomatis akan semakin besar pula kekuatan budaya lain menghantam sendi sendi kehidupan kita.

Lantas, bagaimana sebenarnya keberadaan kita dilihat dari kacamata kelompok lain, sebut saja dalam konteks masyarakat Sumatera Utara, maka dimana Aku (KARO) Kini???

Sejarah Karo dapat dimulai dari kerajaan Haru pada abad I yang rajanya bernama “Palagan”, Brahma Putro, Karo dari zaman ke zaman. Selain itu menurut Babat Sunda di Sumatera Utara telah ada kerajaan yang Rajanya bernama Palagan pada abad I Masehi. Cerita tentang Palagan dapat di peroleh dari Buku Manimagelai. Pada masa ini Kerajaan Majapahit dengan Patihnya Gajah Mada tidak henti-hentinya melakukan penyerangan ke Haru ( Karo). Setelah habis masa kerajaan Majapahit kembali kerajaan Haru di serang habis habisan oleh Kerajaan Aceh, yang pada masa itu punya misi penyebaran agama Islam. Disinilah yang oleh beberapa ahli mengatakan terjadi reposisi dari eksistensi suku Karo yang menghasilkan munculnya Melayu. Melayu di Sumatera Timur bukanlah suku tetapi lingkungan budaya yang di pengaruhi oleh Islam, Melayu disini adalah Suku Karo atau Simalungun yang masuk Islam. Itulah sebabnya Melayu disini mempunyai marga.

J.H Neuman dalam bukunya “Sejarah Batak Karo sebuah Sumbangan” mengatakan bahwa nenek moyang Sultan Siak di Riau adalah Nuan Kata Tarigan, yang berasal dari Pulo Brayan Medan..

Di Langkat diketahui bahwa Sultan Langkat adalah merga Perangin angina kuta Buluh, demikian juga dengan Kejurun Bahorok. Sementara itu di Deli dan Serdang raja urungnya adalah suku Karo. Urung Sunggal (serbanyaman) merga Karo karo Surbakti, Raja Urung Senembah merga Barus, Urung Hamparen Perak merga sembiring pelawi, Urung Tanjung Morawa merga Ginting Seragih dan Urung Suka Piring Serdang Merga Karo Karo Samura. Selain itu di langkat kejurun selesai dan kejurun Nambiki adalah marga Sitepu. Di dairi Urung Tanah Pinem merga Pinem. Urung Tiga Lingga marga Sinulingga, selain itu di Simalungun urung Si Lima Kuta marga Tarigan.

Pada masa setelah selesainya perang Aceh, Karo kembali harus melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Pada tahun 1872 sampai tahun 1876 terjadi perang Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Sunggal dan perang tanduk benua.
Pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan Suku Karo bangkit kembali, dimana pejuang-pejuang suku Karo mendominasi perjuangan rakyat di sumatera utara. Bukti dari peran dan keterlibatan Suku Karo ditandai dengan adanya Makam Pahlawan di Kabanjahe yang hanya ada dua di Indonesia.

Selain itu beberapa jabatan penting di Sumatera Utara di pegang oleh Suku Karo, seperti GUBSU (Ulung Sitepu), walikota Binjai, Tebing Tinggi, Siantar Bupati Langkat, Bupati Deli Serdang dan Kabupaten Karo.

Jika kita mengamati sejarah maka kita merupakan pejuang-pejuang yang sangat tangguh Tetapi akhir-akhir ini posisi suku Karo mengalami kemunduran. Kondisi ini dimulai sejak pemerintahan orde baru mengadakan kebijakan represif yang merugikan Suku Karo, dimana kebijakan ini juga akhirnya mengarah kepada pengaburan identitas suku Karo. Penghilangan ini di tandai dengan pengaburan bahwa Suku Karo hanya ada di Kabupaten Karo saja, bukan di Tanah Karo. Padahal seperti yang diuraikan diatas bahwa Tanah Karo terdiri dari, Kabupaten Karo, Kota Medan, Langkat, Simalungun Atas, dan Deli Serdang serta Aceh Tenggara sebagian, dan sebagian Dairi. Jumlah total suku Karo yang berdiam di Tanah Karo sekitar 1,5 Juta jiwa. Sedangkan yang tinggal di Kabupaten Karo Hanya sekitar 300 ribu saja.

Selain itu bila kita kita melihat dari sisi yang lain misalnya ternyata yang didiami oleh Suku Karo umumnya merupakan daerah yang tertinggal walaupun dari segi jarak sangat dekat dengan Ibukota Propinsi, Lihat saja kondisi Kecamatan Kuta Limbaru (Deli Serdang), dimana penduduknya 80% hidup di bawah garis kemiskinan bahkan sempat mengalami kondisi gizi buruk/busung lapar. Demikian juga halnya dengan kondisi kecamatan Tiga Binanga dan Juhar yang masih banyak desa tertinggal. Serta Kabupaten Langkat masih ditemukan juga masyarakat karo yang masih sangat miskin terutama di daerah perkebunan.

Selain kemiskinan di bidang ekonomi maka kemiskinan di bidang politik juga terjadi terhadap orang-orang Karo. Lihat saja diskriminasi Politik yang di hadapi oleh politisi Karo, termasuk juga jabatan jabatan penting di Pemerintahan. Demikian juga dengan persoalan budaya. Di Kota Medan sendiri yang notabene merupakan tanah Ulayat Rakyat Karo, budaya Karo tidak pernah di kedepankan. Lihat saja bangunan bangunan di Kota Medan tidak ada yang menggambarkan Karo, tetapi semua menggambarkan ciri dan ragam hias dari daerah lainnya di Sumatera Utara. Sehingga pada titik ekstrimnya kita lihat bahwa Suku Karo merupakan pendatang di daerahnya sendiri.

Haruskah kondisi ini kita biarkan terus? Kondisi ini merupakan derita buat kita semua yang menghembuskan nafas di Tanah Karo. Mari satukan visi dan cita cita serta bergenggam tangan demi sebuah perubahan. Buatku, buatmu, buat seluruh masyarakat Karo.

Bagaimana Cermatan Anda?
* Alto Belli. Ginting
Mahasiswa AMIK-MBP Medan

1 komentar:

paska ginting mengatakan...

Pertama-tama saya menyampaikan rasa bangga dan terima kasih kepada anda. Tulisan anda benar-benar menambah wawasan saya tentang KARO. Teruslah menulis segala sesuatu yang berhubungan dengan KARO, saya yakin anda masih memiliki informasi yang lain tentang KARO. Bujur melala, Dibata simasu-masu.