Senin, 19 Mei 2008

Rumah Siwaluh Jabu Tinggal Kenangan

Dengan maraknya pembangunan dengan struktur modern sekarang masyarakat telah jauh meninggalkan yang namanya rumah adat. bahkan untuk sekedar merawatnya pun sudah jarang ada pihak yang turut serta.
Disini saya akan sekedar membahas tentang rumah adat karo yang semakin ditinggalkan, agar para generasi karo tidak lupa akan asal-usul bangunan budayanya.



--------------------------------------------------------------------------------

Pada masyarakat suku Batak karo maupun batak lainnya, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang".

Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur ke rumah keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso nanti akan kemasukan roh, sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara ini disebut "Sigale-gale".





--------------------------------------------------------------------------------

Rumah adat Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :

Jabu bena kayu yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut.
Jabu sedapur bena kayu yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu, juga dinamai Sinenggel-ninggel. Ruang ini didiami oleh pihak Senina yakni saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur, karena setaip 2 ruangan maka di depannya terdapat dapur yang dipakai untuk 2 keluarga.
Jabu ujung kayu, dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak Beru Toa, yang bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
Jabu sedapur ujung kayu yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu Sungkun Berita.
Jabu lepan bena kayu, yakni ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh Biak Senina.
Jabu sedapur lepan bena kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena kayu, didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban.
Jabu lepan ujung kayu, didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini disebut Jabu Silayari.
Jabu sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung kayu. Ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun minum, didiami oleh Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari jabu silayari. Kedudukan Kalimbuh ini cukup dihormati didalam adat.
Umumnya di setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau Sebayak.




Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melembangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam. Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.

Rumah adat Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14 tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan laki-laki.

Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.

Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.

Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.

Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk.

Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.

Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.

Lagu Tradisional Karo

Selain tarian, nyanyian juga mempunyai arti penting di dalam pelaksanaan upacar adat. Lagu tangis , dinyanyikan jika ada yang meninggal, si penyanyi menangis sambil mengucapkan kata-kata dengan naa sedih. Kata-katanya melukiskan riwayat hidup si mati sejak kecil dengan segala penderitaan dan kebaikannya dan bagaimana sedihnya perasaan keluarga yang ditinggalkannya. Lagu Talas, biasanya dinyanyikan oleh guru waktu memimpin upacara ”Erpangir Kulau ”, atau pada waktu guru penawar meramu obat-obatan tradisonal untuk mengobati yang sakit. Lagu-lagu ini khusus dinyanyikan pada waktu diadakan upacara memasuki rumah baru atau mengket rumah imbaru, dan upacara perkawinan. Lagu ini mengandung arti memohon keselamatan untuk seisi rumah dan keluarga.

SUKU Karo masih bisa berbangga karena rumah tradisional siwaluh jabu yang dihuni 8 atau 12 kepala keluarga, masih dipertahankan di lima desa di kabupaten Karo. Tiga atau lima tahun lagi kebanggaan itu mungkin tak ada lagi, karena rumah buatan nenek moyang yang tinggal sekitar 30 unit lagi, bisa mengalami nasib seperti rumah tradisional suku Batak lain di Sumatera Utara yang hilang tak berbekas.


Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena dua hal: keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Keunikan teknik bangunannya: rumah berukuran minimal 10 x 30m (300 m2) itu dibangun tanpa paku dan ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun lebih. Sedang keunikan nilai sosial-budayanya: kehidupan berkelompok dalam rumah besar yang dihuni 8 kepala keluarga (KK) atau sekitar 50 jiwa. Khusus di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe malah ada rumah adat Karo yang dihuni 12 KK. Batas antara satu keluarga dengan yang lain ditandai tirai kain panjang.

Rumah kayu ini tak dilengkapi kamar tidur dan ruang tamu. Semua anggota keluarga tidur di jabu atau ruangan tanpa penyekat. Khusus untuk bapa (bapak) dan nande (ibu) diberi penyekat berupa kain panjang yang setiap pagi dilepas. Ruangan tadi berfungsi ganda: tempat memasak, tempat makan dan berkumpul, sekaligus tempat tidur keluarga. Karena tidak ada pemisah ruangan, maka pada setiap jam masak, semua ruangan dipenuhi asap kayu bakar yang dipakai sebagai bahan bakarnya. Kecilnya ukuran pintun perik alias jendela juga tak membantu pertukaran udara di dalam rumah sehingga kepengapannya sangat menyesakkan dada.

Rumah adat ini umumnya dilengkapi empat dapur. Masing-masing dapur memiliki dua tungku untuk dua keluarga yang biasanya mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat. Setiap tungku dapur menggunakan lima batu sebagai pertanda bahwa di suku Karo terdapat lima merga yakni Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Di atas tungku terdapat para, tempat menyimpan bumbu dan ikan atau daging selain untuk rak piring dan tempat menyimpan segala sesuatu untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.


Di bagian depan dan belakang rumah terdapat ture seperti teras dilengkapi redan atau tangga. Kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dua tanduk kerbau. Tanduk itu diyakini sebagai penolak bala. Ture biasanya menjadi tempat muda-mudi mengawali percintaannya. Gadis Karo dahulu kala menganyam tikar atau mbayu amak di atas tempat ini, sebelum menemukan jodoh.

Rumah berbentuk panggung dan beratap ijuk ini memiliki dua pintun (pintu) dan delapan jendela (lihat gambar). Ruangan setiap keluarga disebut jabu. Sedangkan kolong rumah dimanfaatkan sebagai kandang ayam, babi serta tempat menyimpan kayu bakar.




MENURUT cerita orang-orang tua, ratusan tahun lalu Desa Lingga, Kecamatan Simpangempat, merupakan cikal bakal serta pusat pemerintahan suku Karo. Saat itu Lingga dipimpin seorang raja yang disebut Sibayak Lingga. Ia membangun rumah pertemuan dan rumah tempat tinggal warganya, yang tiang penyangga, dinding, dan beberapa bagian atas, terbuat dari kayu bulat.

Dulu, di seluruh desa di Tanah Karo terdapat rumah adat berukuran paling kecil 10 x 30 meter, dilengkapi atau gedung pertemuan tokoh masyarakat. Kompleks ini juga dilengkapi bangunan bernama geriten yang terbagi dua: satu untuk tempat kencan muda-mudi dan sebuah lagi untuk menyimpan tengkorak pemilik geriten.

Ketika Belanda menjajah negeri ini, warga Karo sengaja membumihaguskan rumah dan hartanya, agar rumah mereka tidak dimanfaatkan Belanda.

Maka, kini tingal Desa Lingga, Peceren, Serdang, Barusjahe dan Dokan yang mempunyai rumah adat pertanda kebesaran nenek moyang suku Karo.



KEUNIKAN arsitektur siwaluh jabu menarik wisatawan, sebab jarang rumah dibangun tanpa paku bisa berusia ratusan tahun. Besarnya minat wisatawan mancanegara melihat keunikan rumah siwaluh jabu membuat Pemda Karo menetapkan beberapa desa di Tanah Karo menjadi desa budaya. Desa budaya itu: Lingga, Dokan, Serdang, Barusjahe dan Peceren yang tahun 1992 lalu masih memiliki sekitar 50 rumah. Tahun itu juga pihak Deparpostel merenovasi dua rumah siwaluh jabu di Lingga dengan biaya tak kurang Rp 50 juta. Sayangnya uluran tangan pemerintah itu tidak berkesinambungan. Maka semakin hari, rumah siwaluh jabu di desa budaya tersebut terus berkurang dan kini tinggal sekitar 30 unit. Pemilik maupun warga desa setempat tak mampu merawat rumah peninggalan nenek moyangnya itu.

Pemilik rumah siwaluh jabu juga cenderung membangun rumah sendiri di tempat lain. Tidak zamannya lagi hidup bersama dengan delapan keluarga dalam satu rumah. Kini rumah tradisional masyarakat Karo terlantar dan menanti ajal. Beberapa rumah adat itu telah dipenuhi semak belukar.

Tanggung jawab memang tak sepenuhnya di tangan pemerintah. Warga sebagai pemilik rumah tua itu juga harus bersedia mempertahankan keberadaan rumah itu. Memang sekarang banyak suku Karo baik di Tanah Karo maupun di kota lain seperti Jakarta membangun rumah berornamen rumah siwaluh jabu yang umumnya hanya mengambil bagian atasnya saja. Sekadar ingin tahu bentuknya saja, di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta berdiri sebuah rumah siwaluh jabu.

Dimanakah Kini Karo(Aku) Berada?

Sejarah merupakan kebutuhan eksistensial manusia. Dimana dengan paham akan sebuah sejarah, manusia akan semakin sadar tentang keberadaannya sebagai pelaku sejarahnya. Salah satu komunitas yang ada di Negri ini adalah masyarakat Karo. Lantas yang menjadi masalah adalah kurangnya pemahaman kita tentang sejarah kita sendiri, sejarah masyarakat Karo yang berakibat pada terpenggalnya sebuah pemahaman akan keberadaan dari generasi masyarakat Karo itu sendiri. Pemahaman yang parsial ini akan membuat kita gamang dalam menentukan sikap dan sempit dari sudut pandang. Ketidak pahaman akan nilai sejarah tersebut membuat kita akan semakin kehilangan identitas kita sebagai masyarakat Karo. Yang secara otomatis akan semakin besar pula kekuatan budaya lain menghantam sendi sendi kehidupan kita.

Lantas, bagaimana sebenarnya keberadaan kita dilihat dari kacamata kelompok lain, sebut saja dalam konteks masyarakat Sumatera Utara, maka dimana Aku (KARO) Kini???

Sejarah Karo dapat dimulai dari kerajaan Haru pada abad I yang rajanya bernama “Palagan”, Brahma Putro, Karo dari zaman ke zaman. Selain itu menurut Babat Sunda di Sumatera Utara telah ada kerajaan yang Rajanya bernama Palagan pada abad I Masehi. Cerita tentang Palagan dapat di peroleh dari Buku Manimagelai. Pada masa ini Kerajaan Majapahit dengan Patihnya Gajah Mada tidak henti-hentinya melakukan penyerangan ke Haru ( Karo). Setelah habis masa kerajaan Majapahit kembali kerajaan Haru di serang habis habisan oleh Kerajaan Aceh, yang pada masa itu punya misi penyebaran agama Islam. Disinilah yang oleh beberapa ahli mengatakan terjadi reposisi dari eksistensi suku Karo yang menghasilkan munculnya Melayu. Melayu di Sumatera Timur bukanlah suku tetapi lingkungan budaya yang di pengaruhi oleh Islam, Melayu disini adalah Suku Karo atau Simalungun yang masuk Islam. Itulah sebabnya Melayu disini mempunyai marga.

J.H Neuman dalam bukunya “Sejarah Batak Karo sebuah Sumbangan” mengatakan bahwa nenek moyang Sultan Siak di Riau adalah Nuan Kata Tarigan, yang berasal dari Pulo Brayan Medan..

Di Langkat diketahui bahwa Sultan Langkat adalah merga Perangin angina kuta Buluh, demikian juga dengan Kejurun Bahorok. Sementara itu di Deli dan Serdang raja urungnya adalah suku Karo. Urung Sunggal (serbanyaman) merga Karo karo Surbakti, Raja Urung Senembah merga Barus, Urung Hamparen Perak merga sembiring pelawi, Urung Tanjung Morawa merga Ginting Seragih dan Urung Suka Piring Serdang Merga Karo Karo Samura. Selain itu di langkat kejurun selesai dan kejurun Nambiki adalah marga Sitepu. Di dairi Urung Tanah Pinem merga Pinem. Urung Tiga Lingga marga Sinulingga, selain itu di Simalungun urung Si Lima Kuta marga Tarigan.

Pada masa setelah selesainya perang Aceh, Karo kembali harus melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Pada tahun 1872 sampai tahun 1876 terjadi perang Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Sunggal dan perang tanduk benua.
Pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan Suku Karo bangkit kembali, dimana pejuang-pejuang suku Karo mendominasi perjuangan rakyat di sumatera utara. Bukti dari peran dan keterlibatan Suku Karo ditandai dengan adanya Makam Pahlawan di Kabanjahe yang hanya ada dua di Indonesia.

Selain itu beberapa jabatan penting di Sumatera Utara di pegang oleh Suku Karo, seperti GUBSU (Ulung Sitepu), walikota Binjai, Tebing Tinggi, Siantar Bupati Langkat, Bupati Deli Serdang dan Kabupaten Karo.

Jika kita mengamati sejarah maka kita merupakan pejuang-pejuang yang sangat tangguh Tetapi akhir-akhir ini posisi suku Karo mengalami kemunduran. Kondisi ini dimulai sejak pemerintahan orde baru mengadakan kebijakan represif yang merugikan Suku Karo, dimana kebijakan ini juga akhirnya mengarah kepada pengaburan identitas suku Karo. Penghilangan ini di tandai dengan pengaburan bahwa Suku Karo hanya ada di Kabupaten Karo saja, bukan di Tanah Karo. Padahal seperti yang diuraikan diatas bahwa Tanah Karo terdiri dari, Kabupaten Karo, Kota Medan, Langkat, Simalungun Atas, dan Deli Serdang serta Aceh Tenggara sebagian, dan sebagian Dairi. Jumlah total suku Karo yang berdiam di Tanah Karo sekitar 1,5 Juta jiwa. Sedangkan yang tinggal di Kabupaten Karo Hanya sekitar 300 ribu saja.

Selain itu bila kita kita melihat dari sisi yang lain misalnya ternyata yang didiami oleh Suku Karo umumnya merupakan daerah yang tertinggal walaupun dari segi jarak sangat dekat dengan Ibukota Propinsi, Lihat saja kondisi Kecamatan Kuta Limbaru (Deli Serdang), dimana penduduknya 80% hidup di bawah garis kemiskinan bahkan sempat mengalami kondisi gizi buruk/busung lapar. Demikian juga halnya dengan kondisi kecamatan Tiga Binanga dan Juhar yang masih banyak desa tertinggal. Serta Kabupaten Langkat masih ditemukan juga masyarakat karo yang masih sangat miskin terutama di daerah perkebunan.

Selain kemiskinan di bidang ekonomi maka kemiskinan di bidang politik juga terjadi terhadap orang-orang Karo. Lihat saja diskriminasi Politik yang di hadapi oleh politisi Karo, termasuk juga jabatan jabatan penting di Pemerintahan. Demikian juga dengan persoalan budaya. Di Kota Medan sendiri yang notabene merupakan tanah Ulayat Rakyat Karo, budaya Karo tidak pernah di kedepankan. Lihat saja bangunan bangunan di Kota Medan tidak ada yang menggambarkan Karo, tetapi semua menggambarkan ciri dan ragam hias dari daerah lainnya di Sumatera Utara. Sehingga pada titik ekstrimnya kita lihat bahwa Suku Karo merupakan pendatang di daerahnya sendiri.

Haruskah kondisi ini kita biarkan terus? Kondisi ini merupakan derita buat kita semua yang menghembuskan nafas di Tanah Karo. Mari satukan visi dan cita cita serta bergenggam tangan demi sebuah perubahan. Buatku, buatmu, buat seluruh masyarakat Karo.

Bagaimana Cermatan Anda?
* Alto Belli. Ginting
Mahasiswa AMIK-MBP Medan

Sabtu, 10 Mei 2008

Tersangka Pembawa Bahaya


Walau Hati Sedang Gundah Tetapi Jangan Pernah Merasa Lelah Tuk Hadapi Hidup Karena Masih Banyak Peluang Yang Menantimu. Selama Matahari Masih Setia Datang Untukmu Jangan Pernah Berhenti Mencoba,




Hiattttttt



Helppp meee....



Adakah Yang Bisa Melepasku Dari Kesepian Ini?????



Akkkkkkkkkhhhhhhhhhhh